Sinar Islami | Salah satu anugerah Allah yang besar terhadap
hamba-Nya adalah dengan memberikan kepada mereka pintu kebaikan dan kebajikan.
Jika seorang hamba melakukan amalan kebaikan dan kebajikan, maka ia mendapat
pahala kebaikan di dalam kehidupan dunia, dan juga pahala baginya setelah
kematian. Bagi penghuni kubur, amalan mereka telah terputus. Amalan yang telah
dilakukan selama hidupnya akan dihisab dan diberi pahala. Sementara ada pula
yang mendapatkan taufik di dalam kuburnya karena kebaikan dan pahala terus
mengalir kepadanya. Dia sudah tak lagi beramal, namun pahala baginya tidak
pernah terhenti, derajatnya diangkat, kebaikannya semakin tumbuh dan pahalanya
semakin berlipat ganda, padahal ia telah terbaring di dalam kuburnya. Alangkah
bahagianya orang yang demikian itu.
Nabi telah mengabarkan bahwa ada tujuh perkara yang pahalanya akan tetap
mengalir kepada manusia di dalam kuburnya setelah ia meninggal. Dari Anas,ia
berkata, Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam bersabda,
“Ada
tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia
sudah terbaring dalam kuburnya setelah wafatnya, Orang yang mengajarkan suatu
ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam kurma, membangun masjid,
mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampun buatnya setelah
dia meninggal.” (HR. al-Bazzar, dinilai hasan oleh syaikh al-Albani dalam Shahihul
Jami’)
Demi
(buah) Tin dan (buah) Zaitun; dan demi bukit Sinai, dan demi kota
(Mekah) ini yang aman. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya; kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya; kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka
apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah
(adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah hakim yang
seadil-adilnya? (QS al-Tin [95]: 1-8).
Surat ini dinamakan at-Tîn, diambil dari kata dalam ayat pertama. Menurut jumhur, surat yang terdiri dari delapan ayat ini termasuk Makkiyyah.1 Pendapat
ini juga dipilih oleh az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Baghawi, Ibnu Juzyi
al-Kalbi, as-Samarqandi, al-Jazairi, dan lain-ain.2 Adapun Ibnu Abbas dan Qatadah, sebagaimana diriwayatkan al-Qurthubi, menyebut surat ini sebagai Madaniyyah.3 Akan
tetapi, riwayat tersebut berbeda dengan apa yang dikeluarkan oleh Ibnu
Dhurais, an-Nahas, Ibnu Mardawih, dan al-Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas yang
berkata, “Surat at-Tin diturunkan di Makkah.”4
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wa at-Tîn wa az-Zaytûn (Demi [buah] Tin dan [buah] Zaitun). Ayat ini diawali dengan wâwu al-qasam. Al-Muqsam bih (perkara yang dijadikan sebagai objek sumpah) adalah at-Tîn dan az-Zaytûn.
Sebagaimana dikutip Ibnu Jarir ath-Thabari, terdapat banyak penafsiran mengenai maksud at-tîn dan al-zaytûn dalam ayat ini. Sebagian mufassir menyatakan bahwa keduanya adalah nama buah yang sudah dikenal. At-Tîn adalah nama buah yang biasa dimakan dan al-zaytûn adalah
nama buah yang biasa diperas. Di antara yang berpendapat demikian
adalah Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, Ikrimah, Mujahid, Ibrahim an-Nakha’i,
Atha’ bin Rabah, Jabir bin Zaid, Muqatil dan a-Kalbi.5 Menurut asy-Syaukani, ini merupakan pendapat kebanyakan mufassir.6
Penafsiran lainnya, seperti Kaab dan Ibnu Zaid at-Tîn adalah Masjid di Damaskus dan al-Zaytûn adalah Baitul Maqdis. Qatadah menyatakan bahwa at-Tîn adalah gunung di Damaskus dan al-Zaytûn adalah gunung di Baitul Maqdis.7
Pendapat yang benar, sebagaimana ditegaskan ath-Thabari, bahwa at-tîn adalah nama buah yang biasa dimakan dan al-zaytûn adalah nama buah yang biasa diperas minyaknya. Pengertian inilah yang sudah dikenal oleh bangsa Arab.8 Kesimpulan
yang sama juga dikemukakan al-Qurthubi. Alasannya, pengertian tersebut
bermakna hakiki. Makna hakiki itu tidak boleh dipalingkan menjadi majazi kecuali ada dalil yang memalingkannya.9
Beberapa mufassir mencoba menjelaskan kelebihan kedua buah tersebut. Adapun tentang buah zaitun, Rasulullah saw. bersabda:
Makanlah buah Zaitun dan berminyaklah dengannya. Sebab, itu adalah pohon yang yang diberkati (HR al-Tirmidzi).
Kemudian dilanjutkan: wa Thûri Sînîna (demi Bukit Sinai). Dijelaskan ath-Thabari, yang dimaksud adalah nama sebuah gunung yang sudah dikenal. Sebab, ath-thûr adalah gunung yang terdapat tanamannya. Kata itu kemudian di-idhâfah-kan pada sinîn yang berguna sebagai ta’rîf bagi gunung tersebut.10 Menurut kebanyakan mufassir, gunung tersebut adalah gunung yang menjadi tempat Musa ketika diseru Allah SWT.11
Allah SWT berfirman: Wa hâdzâ al-Balad al-Amîn (dan demi kota [Makkah] ini yang aman). Yang dimaksud dengan al-balad al-amîn adalah
Makkah al-Mukarramah; negeri yang aman, baik di masa Jahiliah maupun
Islam. Demikian menurut para mufassir, seperti Ibnu Abbas, Mujahid,
Ikrimah, Qatadah, ath-Thabari, asy-Syaukani, as-Suyuthi, al-Baghawi, Abu
Hayyan, al-Baidhawi, dan lain-lain.12 Bahkan ditegaskan Ibnu ‘Athiyah, al-Alusi dan Ibnu Juzyi al-Kalbi, bahwa tidak ada perbedaan tentang ini.13 Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT (Lihat: QS al-Ankabut [29]: 67).
Setelah bersumpah, kemudian disebutkan: Laqad khalaqnâ al-insâna fî ahsan al-taqwîm (Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya). Ini merupakan jawâb al-qasam sekaligus menjadi al-muqsam ‘alayh (perkara yang ditekankan dalam sumpahnya). Yang dimaksud dengan al-insân di sini adalah Adam dan anak-cucunya.14 Ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dalam keadaan ahsan at-taqwîm.
Menurut sebagian mufassir, keadaan terbaik itu fî khalq wa shûrah (dalam aspek badan dan bentuknya). Ini dikemukakan Ibnu Abbas, Ibrahim, Abu al-‘Aliyah, Mujahid dan Qatadah.15 Ibnu Katsir juga memaknai frasa ini sebagai husni shûrah wa syakl muntashib al-qâmah sawiyy al-a’dhâ` (bagus penampilan dan bentuknya, tegak posturnya, dan serasi anggota badannya).16 Tak jauh berbeda, al-Baghawi menafsirkan frasa tersebut sebagai a’dal qâmah wa ahsan shûrah (yang
paling serasi posturnya dan paling bagus bentuknya). Hal itu disebabkan
karena Allah SWT telah menciptakan semua hewan berjalan melata atau
merangkak; berbeda dengan manusia yang diciptakan madîd al-qâmah (tegak posturnya). Ia makan dengan tangannya dan diperbagus lagi dengan akal dan tamyiz (kemampuan membedakan).17
Kemudian diingatkan: Tsumma radadnâhu asfala sâfilîn (kemudian Kami mengembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya). Menurut sebagian mufassir, yang dimaksud dengan asfala sâfilîn adalah ardzal al-‘umur (usia
sangat tua yang paling lemah); yakni renta setelah muda, lemah setelah
kuat hingga kembali seperti bayi sebagaimana kondisi awal. Demikian
pendapat adh-Dhahhak dan al-Kalbi, Ibnu ‘Abbas, Ikrimah dan Ibrahim;18 juga al-Baghawi, asy-Syaukani, dan al-Wahidi.19
Ada juga yang menafsirkan bahwa asfal sâfilîn itu
adalah neraka. Itulah tempat yang paling rendah dan paling buruk. Abu
al-‘Aliyah, Mujahid, al-Hasan, dan Ibnu Zaid adalah di antara yang
berpendapat demikian.20
Kemudian disebutkan: illâ al-ladzîna âmanû wa ‘amilû ash-shâlihât falahum ajr[un] ghayru mamnûn (kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya). Kata illâ memberikan makna ististnâ (pengecualian). Yang dikecualikan adalah orang-orang yang menggabungkan keimanan dengan amal salih dalam dirinya.
Menurut mufassir yang menafsirkan asfal sâfilîn sebagai ardzal al-‘umur (usia sangat tua yang paling lemah), maka istitsna` dalam ayat ini bersifat munqathi’ (pengecualian yang bersifat terpisah). Artinya,
pengecualiannya berbeda dengan kalimat yang disebutkan sebelumnya.
Dengan demikian, orang yang beriman dan beramal salih itu tidak tercegah
dari keadaan tersebut. Namun, saat itu mereka terus mendapatkan pahala
sebagaimana mereka mereka masih muda dan sehat.21 Pahala mereka ghayru mamnûn, artinya ghayru maqthû’ (terputus).
Pahala mereka terus berlanjut dan tidak terputus disebabkan ketaatan
dan kesabaran mereka dalam ujian ketuaan dan kepikunan mereka.22
Adapun yang menafsirkan asfal al-sâlîn adalah neraka, maka istitsnâ‘ (pengecualian) terhadap orang-orang yang beriman dan beramal salih termasuk istitsnâ’ muttashil (pengecualian
yang bersambung dengan kalimat sebelumnya) amat jelas; bahwa mereka
tidak termasuk orang-orang yang dimasukkan ke dalam neraka. Bahkan lebih
dari itu, mereka juga mendapatkan pahala yang tidak terputus.
Kemudian Allah SWT berfirman: Famâ yukadzdzibuka ba’d bi al-dîn (Maka
dari itu, apakah yang menyebabkan kamu mendustakan [hari] pembalasan
sesudah [adanya keterangan-keterangan] itu?). Kalimat istifhâm di sinibermakna li al-taqrî‘ wa at-tawbîkh wa ilzâm al-hujjah (untuk memberikan celaan dan teguran serta mengukuhkan argumentasi). Adapun kata al-dîn di sini bermakna pembalasan pada Hari Kiamat.
Surat ini diakhiri dengan firman-Nya: Alaysa bi ahkam al-Hâkimîn (Bukankah Allah adalah Hakim yang seadil-adilnya?). Kalimat istifhâm,jika masuk kepada nafiyy, menghasilkan makna îjâb (positif). Dengan demikian, kalimat istifhâm ayat ini bermakna at-taqrîrî (mengukuhkan),
bahwa Allah SWT benar-benar Hakim yang Mahaadil dan dan Mahabijaksana.
Penjelasan ayat-ayat sebelumnya menjadi bukti amat jelas keadilan Allah
tersebut. Selain itu, menurut az-Zamakhsyari dan an-Nasafi ayat ini juga
mengandung ancaman keras bagi orang kafir.23 Mengenai ayat ini, Rasulullah saw.:
Siapa saja yang membaca “At-Tîn wa az-Zaytûn” hingga akhirnya “Alaysa bi ahkam al-Hâkimîn”, hendaklah berkata, “Balâ, wa ana ‘alâ dzalika min asy-syâhidîn.” (HR al-Tirmidzi dari Abu Hurairah ra).
Raih Pahala Tak Terputus
Dalam surat ini terdapat banyak pelajaran penting yang dapat diambil. Pertama:
besarnya kenikmatan Allah SWT kepada manusia dan kewajiban mensyukuri
nikmat itu. Secara fisik, dibandingkan dengan semua makhuk lainnya di
atas muka bumi ini, manusia adalah makhluk yang memiliki bentuk paling
bagus, indah, serasi dan sempurna. Tak kalah pentingnya, manusia
dikarunia akal dan kemampuan, mendengar, berpikir dan berbicara. Inilah
perangkat paling esensial yang membedakan manusia dengan lainnya. Ini
merupakan nikmat tak terkira. Ditegaskan dalam surat ini bahwa Allahlah
yang telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik itu.
Secara
tersirat dapat dipahami bahwa langkah untuk menjadi hamba-Nya yang
bersyukur atas seluruh nikmat-Nya adalah dengan beriman dan beramal
salih. Ketika ini dilakukan, mereka akan mendapatkan pahala yang amat
besar; pahala yang tak terputus. Sebaliknya, jika semua kenikmatan itu
justru membuat manusia lupa, ingkar terhadap Allah SWT dan melanggar
syariah-Nya, maka kesengsaraanlah yang akan dialami. Mereka dimasukkan
ke dalam neraka Jahanam; tempat yang paling rendah dengan aneka siksa
yang amat menyakitkan.
Kedua:
memahami kenikmatan duniawi secara benar; bahwa semua kenikmatan
duniawi itu bersifat fana dan tidak abadi. Kenikmatan bentuk tubuh dan
kecerdasan akal yang diberikan manusia suatu saat akan berakhir. Seiring
dengan perjalanan usia manusia yang semakin lanjut dan renta, keindahan
tubuhnya akan pudar, bahkan lenyap tak bersisa. Rambutnya rontok dan
memutih. Giginya tanggal satu persatu. Pandangan matanya kian kabur.
Kulitnya menjadi berkeriput. Kekuatan fisiknya semakin melemah dan tak
berdaya. Kecerdasan dan kepintarannya terus berkurang hingga menjadi
pikun. Berbagai penyakit pun datang mendera. Inilah daur yang akan
dialami oleh manusia tatkala usianya telah senja. Sebagaimana dijelaskan
oleh sebagian para mufassir, inilah pengertian asfala sâfilîn yang
disebutkan dalam surat ini. Maka dari itu, betapa merugi orang-orang
yang tidak menggunakan semua kenikmatan itu dengan benar saat kenikmatan itu masih ada. Saat kenikmatan sudah tiada, yang ada hanya tinggal penyesalan tak berguna.
Ketiga:
pahala bagi orang Mukmin yang bertakwa. Dalam surat ini ditegaskan
bahwa Mukmin yang menaati syariah-Nya tidak dikembalikan pada asfala sâfilîn
jika yang dimaksud dengannya adalah dimasukkannya ke dalam neraka.
Ditambah lagi dengan pahala yang terputus, jelas merupakan keuntungan
yang luar biasa. Betapa tidak, keimanan dan ketaatan semasa di dunia
yang tak terlalu lama itu dibalas dengan pahala dan surga.
Namun, jika yang dimaksud dengan asfa sâfilîn
adalah usia senja yang paling lemah, mungkin mereka juga mengalami
problem sebagaimana layaknya orang berusia lanjut. Namun, mereka tidak
perlu bersedih dan merasa menderita. Sebab, saat mereka bersabar dan
berusaha tetap menaati syariah-Nya, mereka dijanjikan mendapatkan
pahala. Bahkan sekalipun mereka tidak bisa beramal salih sebagaimana dia
lakukan semasa masih muda, sehat dan kuat, mereka masih bisa berharap
pahalanya terus mengalir.
Jika
hamba itu sakit atau melakukan perjalanan, dicatatkan untuk dia pahala
seperti amalan yang biasa dia lakukan saat mukim dan sehat (HR al-Bukhari).
Oleh karena itu, dalam surat ini terdapat dorangan amat besar bagi
setiap manusia yang masih muda, kuat dan sehat untuk segera beramal
salih. Membiasakan dirinya untuk taat kepada Allah SWT dan giat
memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah. Jika suatu saat ia tidak
mampu melakukannya lagi, insya Allah pahalanya akan tetap berlanjut dan
tak terputus.
Keempat:
keadilan hukum Allah SWT. Ayat terakhir surat ini jelas menegaskan
pengertian demikian. Dengan adanya Hari Kiamat, manusia benar-benar akan
mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya. Tidak ada yang
dizalimi. Ini termasuk bukti paling jelas keadilan Allah SWT. Keadilan
hukum Allah SWT ini tidak hanya terjadi di akhirat kelak saja. Semua
hukum dalam syariah-Nya adalah adil. Oleh karena itu, siapa pun yang
menginginkan keadilan, tidak ada pilihan lain kecuali harus menerapkan
syariah-Nya secara kaffah di muka bumi; bukan hukum yang dibuat
oleh hawa nafsu sekelompok manusia. Jika itu yang diterapkan, bukan
keadilan yang didapat, namun justru kezaliman dan kerusakan yang terjadi
(Lihat: QS al-Maidah [5]: 50).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan Kaki:
1 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 502.
2 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1987); ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 2000), 210; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr a-Qur’ân, vol. 8 (tt: Dar al-Thayyibah, 1997), 468; Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam bin al-Arqam, 1996), 494; as-Samarqandi, Bahr al-‘Uûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 491; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 590.
3 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 110.
23 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 568. Bahwa ini merupakan ancaman bagi orang kafir juga dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 504.
24 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 775; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1998), 661